24 May 2010

Sekarang Jadi Anak, Esok Jadi Orang Tua (Juga)


Kedekatanku pada anak2 ternyata membawa banyak pelajaran untukku. Salah satunya betemu dengan orang tua2 yang hebat, dalam mendidik anak-anaknya. Yang menyadarkan betapa pentingnya menimba ilmu untuk mendidik anak-anak kita kelak.  Betapa egoisnya kita jika hingga tak mau belajar bahkan menganggap hal itu tidaklah penting. Salah besar..

Orang tua-orang tua yang hebat selalu mempersiapkan dirinya sedari muda untuk dapat mendidik anak-anaknya, baik dengan membekali ilmu agama, ataupun ilmu pengetahuan umum. Juga mencari pendamping yang tepat baginya yang  kelak akan menjadi ayah/ibu bagi anak-anaknya. Sungguh sebuah amanah besar ketika peradaban masa yang akan datang itu ditetukan oleh sikap dan pilihan kita saat ini. Boleh jadi kita akan menjadi penyelamat peradaban, namun bisa juga kita malah ikut serta menghancurkannya, (pilih yang mana? Dan tentukan dari sekarang..)

Beberapa hal itulah yang aku dapatkan dari kisah beberapa orang tua yang benar2 berusaha menyiapkan dirinya dalam mendidik anak dengan baik sedari muda, sehingga mereka tetap bisa mendidik anak-anak mereka dengan pendidikan yang berkualitas meski  jumlah anak (putra-putri mereka) tak sedikit (ada yang lebih dari hitungan jari) yang Insya Allah semuanya shalih-shalihah.. Subhanallah.. jadi ngiri.. (kalo semua jadi pendduk surga pasti bakal seneng banget, lha wong rame2 gitu.. ^_^).

Dan.. Tidak salah jika beberapa dari kita sudah merindukan untuk menyempurnakan setengah diennya... tapi, coba kita telisik ulang akan persiapan semua ini.. sudahkah? (terutama untukku sendiri yg masih harus banyak belajar..)
Jika sudah, apakah orang tua sudah mengijinkan? (beberapa cerita teman hambatan malah dari orang tua, mengapa?) maap yee.. ga sebut merk kok coz merknya banyak.. hehe..
apa sih penyebabnya? Aku akan mengungkapkan pendapatku (dari hasil diskusi dengan orang tua, buku dan sumber lain yang Insya Allah dapat dipercaya..)

Penyebabnya antara lain karena komunikasi dengan orang tua kurang baik (ini penyebab terbesar pertama -dari hasil pengamatanku sih-) So, mulailah komunikasi yg baik dengan orang tua, bisa denganbasa-basi dulu misal mijitin, belikan kado, bikin surat cinta..(1001 cara bisa ditempuh kok..) Selain itu, berkomunikasilah dengan sudut pandang orang tua sehingga pembicaraan setara (sehingga ada titik temunya) dan kita harus mengerti keinginan dan kekhawatiran orang tua. Misal ketika orang tua melarang dengan alasan masih kuliah itu artinya kemungkinan selama ini masalah keuangan sepenuhnya masih tanggungan orang tua, sehingga orang tua khawatir jika memperbolehkan anaknya menikah. Atau jika berkata “kamu masih kecil” mungkin artinya selama ini kamu masih kurang mandiri, takut mengambil konsekuensi sendiri atau banyak hal yang masih diurusi orang tua.. (hal inilah yang paling penting untuk dimengerti) solusinya yaitu dengan meyakinkan bahwa kita bisa melalui itu semua atau jika belum bisa paling tidak bisa melakukan negosiasi (intinya win-win solution lah) pasti bisa deh..

Mudahnya gini (coba renungkan dulu sebentar), seorang ibu dengan berat mengandung, melahirkan, menjaga dan mendidik anaknya dengan susah payah, berpisah dengan anaknya ketika si anak sekolah dan belum lengkap anaknya memberi kebahagiaan padanya, dia sudah menjadi milik orang lain dan tidak berhak lagi si ibu untuk ikut campur urusannya bahkan mungkin akan sulit meski hanya untuk menemuinya.. (kekhawatiran semacam inilah yang biasanyamembuat seorang ibu khususnya enggan melepas anaknya untuk merajut hidup baru) tau kan maksudku? Jadi sebaiknya kita bisa menjelaskan bahwa kita akan selalu menyayangi orang kita meski intensitas bertemu akan semakin berkurang, atau bahkan ketika kita harus berada di negeri antah berantah yang nanjauh disana.

Begitu juga kekhawatiran seorang ayah, yang biasanya terlihat tegar namun sebenarnya rapuh, apalagi jika ditinggal oleh anak ataupun istrinya karena sebenarnya merekalah kunci ketegaran seorang ayah (udah banyak loh.. bukti nyatanya.. tapi sttt.. jangan bilang sp2.. ttg ini oke..). Saat janji suci dalam akad pernikahan selesai diucapkan, maka saat itu juga gugurlah semua kewajiban ayah terhadap anak untuk menjadi imamnya.. dan itu bukan berati sang ayah akan merasa lebih ringan, mungkin juga merasa berat hati, sibuk memastikan anak kesayangannya akan tetap bahagia ketika harus hidup bersama orang lain yang masih asing dalam hidupnya..

Kita sadari atau tidak, itulah suatu kenyataan..  dan suatu ketika orang tua kita akan seperti anak-anak lagi. Ketika usianya mulai senja, ketika keriputnya semakin jelas membekas, ketika rambut putihnya semakin merata, ketika pendengaran dan penglihatannya semakin samar.

Masa ketika orang tua kita membutuhkan genggaman ketika berjalan, seperti halnya ketika kita dulu belajar berjalan dengan meminta genggaman tangannya, membutuhkan bantuan untuk menganti bajunya seperti halnya mereka mengganti popok kita, meminta ini dan itu sebagaimana kita dulu merengek dengan berbagai permintaan yang memusingkan.. (tolong, fikirkan hal ini.. sudahkah kita memikirkannya? Pastikan  jika masa itu datang menjadi masa yang membahagiakan bagi orang tua kita dan bukan sebaliknya..)

Bahkan gunung emas pun tak kan pernah cukup untuk membalas jasa orang tua kita, namun, percayalah.. banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membahagiakan mereka meski tidak bersama mereka.. dan inilah yang harus kita camkan dalam-dalam..

Teman2 dan sahabatku semuanya.. kisah itu selalu ada dan mungkin kita akan melaluinya jadi siapkanlah dirimu untuk menjadi orangtua terbaik sepanjang masa, menjadi anak yang memberi kesan terbaik bagi orang tuamu, orang tua pasanganmu, dan orang tua lain yang memang berhak mendapatkan kasih sayang seorang anak..

Jadikanlah diri kita menjadi bagian yang ikut serta membangun peradaban menjadi lebih baik..
Tetap semangat dan berkontribui kawan.. semoga kita dimudahkan istiqomah di jalannya, hingga kita menutup mata selamanya dan dipertemukan kembali di surganya..

Salam sayang utk orang tua kalian, teman2.. Semoga Allah memberi mereka balasan kebaikan yang berlipat.. yang nantinya juga akan kembali pada kita ketika menjadi orang tua kelak.. sebagai konsekuensi akan sebuah siklus yang selalu berulang..


Rumah cahaya, 24 mei ’10, pk 01.00


09 May 2010

Aku Ingin Mencintai-Mu..

aku selalu merindukan saat-saat aku kasmaran..
ketika tiada satu pun yang dapat menggantikan Dia dihatiku..
ketika hidup ini menjadi tak pernah sepi, karena Dia selalu memberi apa yang aku butuhkan..
sebuah lagu yg mengingatkanku padaNya, saat ku merinduNya..
by: Edcoustic


Aku Ingin Mencintai-Mu

Tuhan betapa aku malu
Atas semua yang Kau beri
Padahal diriku terlalu sering membuatMU kecewa
Entah mungkin karna ku terlena
Sementara Engkau beri aku kesempatan berulang kali
Agar aku kembali
Dalam fitrahku sebagai manusia
Untuk menghambakanMU
Betapa tak ada apa-apanya aku dihadapanMU

Reff:
Aku ingin mencintaiMU setulusnya,
Sebenar-benar aku cinta
Dalam do`a
Dalam ucapan
Dalam setiap langkahku
Aku ingin mendekatiMU selamanya
Sehina apapun diriku
Kuberharap untuk bertemu denganMU ya Rabbi

04 May 2010

Euforia Kelulusan buat Apa sih?

Akhirnya bisa juga nulis tentang tema ini.. jujur aku sebel banget sama perayaan kelulusan yang berlebihan dan cenderung kebablasan. Meski sudah banyak yang merayakan kelulusan sekolah dengan cara yang baik misal donor darah, berkunjung ke panti asuhan, bakti sosial, dan kegiatan lainnya.

Risih rasanya melihat convoi dan corat-coret dengan tujuan yang tidak jelas. Seakan-akan mengaburkan tujuan pendidikan di sekolah itu sendiri yang pada dasarnya untuk mencerdaskan anak bangsa tapi outputnya malah tidak cerdas dengan euforia yang berlebihan (seperti mereka tidak pernah mengenyam pendidikan). Atau memang saat ini pendidikan moral sudah jauh ditinggalkan hanya demi selembar ijazah kelulusan?  Sehingga rasa tepa selira (tenggang rasa) dengan teman yang tidak lulus menjadi hilang.

Jika kita meninjau lagi esensi ujian (ujian papun itu termasuk ujian kehidupan) adalah untuk menguji seberapa mampukah kita dan apakah sudah saatnya kita naik ke tingkat ke jenjang yang lebih tinggi atau harus mengulang tingkat ini lagi? Bagi yang telah lulus (bisa lanjut ke jenjang selanjutnya) seharusnya bersyukur namun tidak terlena dengan euforia karena perjalanan masih jauh. Sedangkan yang masih mengulang hendaknya bersabar dengan berusaha lebih baik.

Namun esesnsi itu sering menjadi kabur, bahkan konvoi  dan corat coret seragam tidak lagi dilakukan oleh siswa yang lulus, namun juga yang tidak lulus sebagai ajang ugal-ugalan, pamer kekuatan yang tak jarang berakhir tawuran seperti yang terjadi di Mojokerto, sedangkan di tempat lain hingga menjarah dagangan para PKL  (cerdaskah itu namanya?).  Bahkan di  Madura konvoi  juga diwarnai dengan aksi lepas jilbab dan menggunting rok serta kencan dengan ‘kekasihnya’ (Astaghfirullah.. budaya yang tak layak untuk dilanjutkan..).

Jika yang terjadi seperti ini, l antas apa sebenarnya tujuan euforia kelulusan itu?

Semoga kejadian ini menjadi pelajaran, bagi seluruh pemerhati pendidikan, untuk dapat terus mengurangi bahkan mengikis habis budaya yang cenderung ke arah maksiat ini dan menggantinya dengan budaya yang lebih baik.
Aku bersyukur, saat SMA tidak ada budaya seperti ini, kelulusan di laksanakandengan acara bakti sosial an menyumbang seragam dan kegiatan pelepasan dengan mengenakan baju hitam putih, dilaksanakan penuh khidmat, syukur kebersamaan antar teman, orang tua dan guru, sungguh tenang, bahagia.

sumber gambar: www.ale-ale.com