25 February 2013

Soto Kobokan

Sebuah sms masuk ke hp Rini,

Kalian sudah makan belum? mau soto Kediri?

Dibacanya kencang-kencang sms itu, dan kami pun mulai meresponnya.

Aku yang sedari pagi makan soto langsung menjawab,
"Wah, seharian ini aku bakal makan soto nih"

"Pagi makan soto Jogja, siang makan soto Kudus di Solo, malam ini ditutup dengan soto Kediri, wow bangeet yaa," tambahku dengan suara girang.

Tiba-tiba Mamen menimpali,
"Ada nggak soto kobokan? aku maunya soto kobokan"

"Ha.. ha..haaa...." terdengar seisi mobil tertawa renyah teringat tragedi soto kobokan,  perjalanan  menuju Kediri malam itu menjadi semakin hangat.

Sebenarnya cerita itu tak asing di telingaku. Namun sayang, aku tidak tahu detilnya karena tidak berada di TKP saat kejadian berlangsung. Berhubung si empunya cerita tepat duduk di belakangku, akhirnya ku tanggap sekalian deh untuk memuaskan rasa penasaran.

"Men, kok bisa-bisanya sih kamu makan soto kobokan?" aku mulai bertanya.

"Haha..,bisa dong," jawabannya sengaja memancing.

"Terus kenapa tuh air kobokan bisa dikira kuah soto, bukanya beda banget ya?" aku bertanya lagi.

"Ya kan nggak tau kalo itu air kobokan, soalnya warnanya udah kecoklatan kayak soto.  Ya udah gue tuang aja ke nasi," jawab Mamen,  dengan wajah innocent.

"Hah.. warnanya coklat? berarti kotor dong? hueeek.. tetep kamu makan Men, tu air kobokan?" pertanyaanku semakin menjadi. 

"Mau gimana lagi, kan telanjur dituang. Sebenarnya setelah itu mas Fandi ngasih tau kalo itu bekas kobokan tangan warga yang makan sebelum gue dateng," Mamen mencoba menjelaskan,  masih dengan wajah innocent-nya.

"Tapi ..gue gengsi lah sama warga di sana kalo nasinya nggak jadi dimakan.  Ya udah terpaksa deh gue habisin, haha.." lanjut Mamen sambil tertawa.

"Waha..haa... haaa.." kami kembali  terbahak mendengar penuturan Mamen, kecuali Rini yang justru mual-mual.

"Udah.. udah.. cukuuup.. jangan diterusiin.. aku jadi mual nih denger cerita Mamen," muka Rini memelas, meminta kami berhenti bercerita.

Melihat Rini mual, justru membuat aku yang usil ini senang dan semakin ingin membuatnya bertambah mual,

"Eh, Men.. rasanya enak nggak tuh soto kobokan? manis? asam? asin? atau gimana tuh? nggak bikin kamu sakit ya  Men?" iseng aku menambah pertanyaan. 

"Hmm.. gitu deh, campur-campur rasanya.. lo cobain aja sendiri Fi. Btw keren kan habis makan soto kobokan gue nggak sakit," kini Mamen bisa mengakhiri jawabannya dengan bangga.

Rini tediam dengan tangan menutup telinga, terlihat wajahnya memerah seperti kepiting rebus, gregetan dengan ulah kami.

"Week.. makan soto kobokan aja bangga Men, haha.. udah ah, kasihan tuh si Rini" ku tutup pembicaraan sambil meledek Mamen dengan riang. Rini pun menghela nafas lega seakan baru saja melepas beban berat.

Dalam hati aku berfikir, ide cemerlang tuh kalau soto kobokan dijadikan alternatif menu baru. Setidaknya sih bagi yang sudah bosan dengan makanan biasa. Anggap saja fear factor gratis buat yang mengaku nggak gampang sakit, haha..

Bagaimana menurut anda? ingin mencoba soto kobokan juga? 


~ Based on true story ~

Bingung

Kulihat jarum jam baru menuju angka tujuh. Belum banyak aktivitas yang kulakukan. Namun, entah mengapa perut ini sudah terasa keroncongan. Terbersit di kepala, alangkah enak sarapan dengan gudeg, hmm.. nikmatnya langsung terbayang.

"Woooy..  aku mau beli gudeg nih.. ada yang mau nitip ga?"
Mulailah aku berteriak menawari teman-temanku yang sebagian besar masih bersembunyi di kamar.

Satu persatu mereka keluar menyambangiku sambil memberikan beberapa lembar uang sambil menyebutkan pesanan mereka. Mulai dari gudeg dengan tempe bacem, yang nggak manis, yang pake gorengan, pake tahu bacem, dan lainnya. Hmm.. sejujurnya kepala ini mulai kebingungan mengingat satu per satu pesanan beserta uang yang mereka berikan, maklumlah IQku kan pas-pasan, hehe..

Saat mulai mengelurkan motor dari garasi tiba-tiba ada yang meneriaki,
"Fii.. nitip juga dong.. gudeg pake.. (tuuut, missing)"
Entahlah aku tak begitu mendengar apa yang dikatakannya karena kepala ini masih sibuk mengingat enam macam pesanan sebelumnya.

"Duuuh sorry, aku sudah bingung nih, yang nitip banyak sih," aku menjawab sekenanya.

"Kalo kamu mau, ikut beli aja, aku tungguin, daripada ntar malah lupa, " kulanjutkan jawaban sambil menghidupkan motor.

"Huuft.. males keluar nih, ya udah deh aku nggak jadi nitip," dia menjawab dengan mulut yang manyun.

"Ya udah kalo gitu," ku balas sedikit ketus kemudian ngeloyor pergi.

Sesampainya di warung.. taraaaa.. ternyata antrian cukup panjang. Hmm.. Tiba-tiba kepikiran, kenapa tadi nggak disamain aja sih pesanannya biar simpel, ga perlu mengingat-ingat lagi. Aku hanya bisa mendengus kesal dalam hati sambil terus mengingat pesanan.

Akhirnya giliranku tiba juga. Pesanan yang cukup banyak membuat pengunjung lain memandangiku. Sepertinya mereka juga sedikit kesal menunggu pesananku selesai.

Sebelum membayar ku hitung uang dari saku.
"Hah, kenapa jadi sedikit uangnya..?" aku bicara sendiri keheranan sekaligus khawatir uang kurang.
Untungnya nominal uang itu tepat sesuai untuk membayar makanan yang ku pesan.

Sambil masih keheranan dengan jumlah uang yang berkurang, kulangkahkan kaki keluar warung menuju motor. Lalu kugantungkan plastik makanan di motor sebelum menaikinya. Mendadak aku semakin bingung karena helm yang biasanya menggantung di kaca spion ternyata menghilang.

Motor hitam itu pun kucermati tiap sisinya barangkali helm berpindah tempat ataupun terjatuh, namun tetap saja belum kutemukan. Justru semakin merasa aneh, kok motorku jadi kinclong yaaa..


"Hah...!!" sesaat kemudian aku pun tersadar, segera ku alihkan pandangan ke arah belakang. Yaaa ampuuuun, benar rupanya. Saking sibuknya kepala ini memikirkan  uang, sampai-sampai aku salah menaiki motor.

Kutolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Aman.
Secepat kilat, kulangkahkan kaki kebelakang dan segera memacu motor sebelum semakin banyak orang melihat kebodohanku :)

sumber gambar: http://www.tonymma.com/the-power-of-asking/