01 May 2013

Kartini Sederhana Berhati Kaya

Bulan April selalu identik dengan perayaan hari Kartini, tak lain merupakan bulan kelahiran salah seorang pahlawan wanita yang mencurahkan kegundahan hatinya dengan menulis surat yang kemudian dibukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Nama Kartini pun  menjadi besar berkat tulisannya yang dibaca banyak orang. Jika saja seorang Kartini tidak pernah menulis apapun tentang hidupnya, ah mungkin bulan April tidak akan istimewa. Seistimewa tulisan Kartini yang bernyawa, membuat penulisnya tetap hidup, meski raganya telah lama habis dimakan masa.


Aku pun ingin menuliskan Kartini lain yang juga terlahir di bulan April. Dialah ibuku, wanita sederhana yang berhati kaya. Biarlah tak banyak orang menalnya, setidaknya tulisan ini memberiku lebih banyak nyawa untuk memiliki hati sepertinya.

Secara fisik ibuku memang tampak biasa. Hanya saja ketika banyak wanita menyempurnakan fisiknya dengan polesan yang penuh biaya, maka ibuku mempercantik jiwanya dengan banyak berbagi pada sekitarnya. Adanya harta tak membuat gelap mata, begitupun ketika tiada. Kadang aku terharu  teringat ucapannya pada suatu hari saat membagi-bagi uang bulanan untuk keperluan kami, anak-anaknya. “Alhamdulillah uangnya habis, semoga berkah ya..”.  Padahal dalam keadaan yang sama mungkin banyak wanita lain berkeluh kesah ketika mendapati gaji suaminya yang pas-pasan. Itulah ibuku, baginya harta bukan segalanya, hanya titipan yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh pemiliknya.

Bagi ibu, keluarga adalah bagian hidupnya yang paling utama. Berbagai cara ditempuh untuk bisa memberi yang terbaik bagi keluarga. Doa di sepertiga malam pun menjadi senjata utama agar kami selalu dalam lindungan Sang kuasa, menjadi hamba-hamba yang beriman dan bertaqwa. Kesedihan kami adalah kesedihannya, begitupun dengan bahagia. Pernah aku mengurung diri di dalam kamar dirundung kesedihan karena patah hati. Entah mengapa meski mulutku bungkam, selalu saja ibu mengetahui semuanya. Benar saja, ketika waktu shalat tiba, ibuku beranjak ke masjid seperti biasa. Namun, ada yang ganjil ketika shalat usai hingga sekian lama ibu tak kunjung tiba di rumah. Pulang-pulang kulihat matanya sembab, dan akhirnya aku pun tahu bahwa ibu ikut menangis tak tega melihatku bersedih, bahkan  dengan tangis lebih lama dari tangisanku sendiri. Entahlah aku pun tak mengerti radar apa yang membuatnya sedemikian peka, membuatku lagi tak kuasa untuk kembali membuatnya berduka.

Ibu pun sangat patuh terhadap ayah dan orang tuanya. Besar baktinya menjadi panutan untukku turut berbakti padanya. Jika hari ibu tiba, sering ibu menyiapkan sesuatu yang spesial untuk nenek, hampir selalu lebih spesial dari yang aku siapkan untuknya. Pada akhirnya itu semua membuatku lebih sering malu ketimbang bangga.

Ku akui, ku tak bisa menulisnya terntangnya satu persatu, karena terlalu banyak cinta yang ditebarnya. Sehingga  setiap geraknya yang kulihat hanya taburan cinta meski tak semua terbungkus dengan keindahan. Syukur yang tak terhingga atas anugerah Allah berupa malaikat berwujud manusia ini, yang merelakan seluruh jiwa raganya hanya demi aku pemilik raga yang belum bisa memberi banyak arti.

Ibulah Kartiniku, pengobat laraku, penyegar dahagaku, tanpanya takkan ada aku. Kini cita terbesarku hanya satu, menjadi ibu yang berhati kaya dan penuh cinta. Kartini, pahlawan bagi suami dan anak-anakku. Meski tak dikenal luas oleh penduduk dunia semoga dikenal penduduk surga.

Jika setiap rumah memiliki cahaya, pastikanlah salah satu cahayanya terpancar dari diri kita. Pancarkanlah cahaya kebaikan hingga kelam pun kan sirna. Selamat hari Kartini, selamat menabur inspirasi