Aku pun ingin
menuliskan Kartini lain yang juga terlahir di bulan April. Dialah ibuku, wanita
sederhana yang berhati kaya. Biarlah tak banyak orang menalnya, setidaknya
tulisan ini memberiku lebih banyak nyawa untuk memiliki hati sepertinya.
Secara fisik ibuku
memang tampak biasa. Hanya saja ketika banyak wanita menyempurnakan fisiknya
dengan polesan yang penuh biaya, maka ibuku mempercantik jiwanya dengan banyak berbagi
pada sekitarnya. Adanya harta tak membuat gelap mata, begitupun ketika tiada. Kadang
aku terharu teringat ucapannya pada suatu
hari saat membagi-bagi uang bulanan untuk keperluan kami, anak-anaknya.
“Alhamdulillah uangnya habis, semoga berkah ya..”. Padahal dalam keadaan yang sama mungkin banyak
wanita lain berkeluh kesah ketika mendapati gaji suaminya yang pas-pasan. Itulah
ibuku, baginya harta bukan segalanya, hanya titipan yang sewaktu-waktu dapat
diambil kembali oleh pemiliknya.
Bagi ibu, keluarga
adalah bagian hidupnya yang paling utama. Berbagai cara ditempuh untuk bisa
memberi yang terbaik bagi keluarga. Doa di sepertiga malam pun menjadi senjata
utama agar kami selalu dalam lindungan Sang kuasa, menjadi hamba-hamba yang
beriman dan bertaqwa. Kesedihan kami adalah kesedihannya, begitupun dengan
bahagia. Pernah aku mengurung diri di dalam kamar dirundung kesedihan karena
patah hati. Entah mengapa meski mulutku bungkam, selalu saja ibu mengetahui
semuanya. Benar saja, ketika waktu shalat tiba, ibuku beranjak ke masjid
seperti biasa. Namun, ada yang ganjil ketika shalat usai hingga sekian lama ibu
tak kunjung tiba di rumah. Pulang-pulang kulihat matanya sembab, dan akhirnya
aku pun tahu bahwa ibu ikut menangis tak tega melihatku bersedih, bahkan dengan tangis lebih lama dari tangisanku
sendiri. Entahlah aku pun tak mengerti radar apa yang membuatnya sedemikian
peka, membuatku lagi tak kuasa untuk kembali membuatnya berduka.
Ibu pun sangat patuh terhadap
ayah dan orang tuanya. Besar baktinya menjadi panutan untukku turut berbakti
padanya. Jika hari ibu tiba, sering ibu menyiapkan sesuatu yang spesial untuk
nenek, hampir selalu lebih spesial dari yang aku siapkan untuknya. Pada
akhirnya itu semua membuatku lebih sering malu ketimbang bangga.
Ku akui, ku tak bisa
menulisnya terntangnya satu persatu, karena terlalu banyak cinta yang
ditebarnya. Sehingga setiap geraknya
yang kulihat hanya taburan cinta meski tak semua terbungkus dengan keindahan.
Syukur yang tak terhingga atas anugerah Allah berupa malaikat berwujud manusia
ini, yang merelakan seluruh jiwa raganya hanya demi aku pemilik raga yang belum
bisa memberi banyak arti.
Ibulah Kartiniku,
pengobat laraku, penyegar dahagaku, tanpanya takkan ada aku. Kini cita
terbesarku hanya satu, menjadi ibu yang berhati kaya dan penuh cinta. Kartini,
pahlawan bagi suami dan anak-anakku. Meski tak dikenal luas oleh penduduk dunia
semoga dikenal penduduk surga.
Jika setiap rumah
memiliki cahaya, pastikanlah salah satu cahayanya terpancar dari diri kita.
Pancarkanlah cahaya kebaikan hingga kelam pun kan sirna. Selamat hari Kartini,
selamat menabur inspirasi
0 komentar:
Post a Comment
silakan memberi komentar: