05 December 2010

~Persembahan Cinta: Ada Cinta di balik Musibah~

Perjuangan hidup, dalam kebanyakan hal, dilalui dengan penuh liku, bagaikan mendaki bukit tinggi yang terjal, menang tanpa perjuangan panjang bagaikan menang tanpa kebanggaan. Jika tidak ada kesukaran, tidak ada kesuksesan.Jika tidak ada sesuatu yang diperjuangkan, tidak ada yang akan dicapai. Kesukaran mungkin menakutkan bagi orang yang lemah. Namun memberikan perangsang menyegarkan bagi orang yang tegas dan berani. Segala pengalaman hidup memang berperan membuktikan bahwa rintangan yang menghalangi kemajuan manusia mungkin, pada umumnya, dapat diatasi dengan perilaku yang baik, semangat yang jujur, aktivitas, ketabahan, dan kebulatan tekad mengatasi kesulitan.” (Edmund Burke)

Kehilangan, kesulitan, putus asa sangat terasa ketika musibah itu hadir menghampiri. Masih sangat jelas terlihat jejak musibah letusan merapi yang hingga kini masih tertinggal di sana-sini. Banyak sekali nyawa yang hilang begitu saja hanya karena tersenggol wedus gembel Merapi, rumah-rumah porak poranda tertanam oleh material muntahan Merapi, ternak-ternak mati, belum lagi terjangan lahar dingin yang membuat rumah-rumah di bantaran sungai rusak, begitu pun dengan jembatan-jembatan yang dilaluinya.

Mengerikan memang, ketika seringkali kita merasa memiliki segalanya dan dengan sekejap semua itu menghilang begitu saja tanpa bekas. Tak banyak orang yang bisa menerima kenyataan ini, namun inilah kenyataan yang harus diterima. Seakan-akan kehidupan tak ada artinya, yang dirasa hanyalah derita dan derita. Ya, Jiwa yang kering kerontang itu membutuhkan cinta sebagai penawarnya. Dalam musibah adakah cinta di sana?

Cinta tak hanya hadir dalam bahagia, karena bahagia maupun duka itu sebenarnya adalah cara pandang kita saja. Bukankah pada musibah itulah ada pilihan untuk membenci atau mencintai, dan sungguh kebencian, keputus asaaan takkan mengubah keadaan. Tapi lihatlah orang yang menyebutnya dengan cinta, pasti kehilangan yang menghampirinya akan menjadi indah ketika ia menyadari dengan itu ia mulai berjalan lebih cepat menuju surga, dengan titik air mata yang menetes deras di antara rasa lemah, syukur, pengharapan akan cintaNya yang agung.

Seperti yang disabdakan RasulNya:

tidak akan masuk neraka seorang yang menangis karena takut kepada Alloh, sehingga air susu kembali kepada putingnya , tidak akan bisa berkumpul debu yang menempel karena berjuang di jalan Alloh dengan asap neraka jahanam (HR Timidzi)

Cinta selalu membangkitkan gairah untuk selalu ingat terhadap sesuatu yang dicinta, melakukan apa yang diperintahkannya.
Mungkin demikian juga dengan semesta, barangkali yang sering kita anggap musibah alam itu sebenarnya adalah manifestasi cinta makhluk pada Penciptanya seperti yang disebut dalam Firman Allah:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Israa (17): 44)

Bahkan gemuruh halilintar yang menakutkan pun adalah sebuah tasbih makhluknya:

Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya.” (QS. Ar Ra'd (13):13)

Bukankah ada kemungkinan bahwa letusan Merapi yang dianggap musibah itu pun juga merupakan tasbih bukti cintanya pada Sang Pencipta semesta, bukti bahwa ia menepati janji akan perintah Yang Maha Kuasa?

Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi.” (QS. Shaad (38):18)


Maka tidak pantas lagi jika kita menyalahkan cinta makhluk pada Penciptanya, ada baiknya kita menyadikan cinta mereka (gunung, guntur, halilintar, dll) itu sebagai inspirasi bagi kita, motivasi untuk mencintai Tuhan, Illah dengan lebih baik, dengan ketaatan yang sama. Ya, mungkin semesta sedang mengajari kita bagaimana mancintai sebenarnya, bagaimana mencintai secara totalitas dengan sepenuh jiwa, tak sedikitpun terbagi tak sedikitpun ternodai.

Sahabat, marilah kita gapai cinta tertinggi dengan saling mengingatkan, mengasihi, memberi, atas dasar cinta padaNya. Karena aku yang sendiri takkan sanggup berdiri tanpaNya, juga jika tanpa kalian sahabatku, teman-temanku..

Sahabat yang beriman ibarat mentari yang menyinar.
Sahabat yang setia bagai pewangi yang mengharumkan.
Sahabat sejati menjadi pendorong impian.
Sahabat berhati mulia membawa kita ke jalan Allah.

Jadilah pejuang cinta yang tidak perlu jatuh cinta, tapi bangun cinta.

Rumah Cahaya, 5 Desember 2010
(Inspirasi dari kuliah Akhlaq di rumah cahaya ^_^)

gambar diambil dari berbagai sumber di internet

0 komentar:

Post a Comment

silakan memberi komentar: