Kuliah pertama pagi ini ada kesan tersendiri bagiku, entah karena kuliah perdana setelah UTS, entah karena hal lain tiba2 aku semangat sekali berangkat kuliah dengan berusaha hadir awal (meskipun pada akhirnya sampai kampus masih sedikit terlambat, hehe..).
Aku berusaha mengerti tiap kata yang ucapkan oleh dosenku, diiringi tangan yang terus menari menggoreskan tinta di atas kertas, kadang kecepatan dosenku ketika menjelaskan membuat tanganku semakin tak beraturan menggoreskan pena sehingga hasilnya agak mirip dengan sandi rumput. Namun tiba-tiba penjelasan dosenku berubah haluan di setengah jam terakhir menjadi sebuah kisah klasik seorang mahasiswa idealis di masa lalu (sebenarnya kisah belau sendiri sih..).
Aku berusaha mengerti tiap kata yang ucapkan oleh dosenku, diiringi tangan yang terus menari menggoreskan tinta di atas kertas, kadang kecepatan dosenku ketika menjelaskan membuat tanganku semakin tak beraturan menggoreskan pena sehingga hasilnya agak mirip dengan sandi rumput. Namun tiba-tiba penjelasan dosenku berubah haluan di setengah jam terakhir menjadi sebuah kisah klasik seorang mahasiswa idealis di masa lalu (sebenarnya kisah belau sendiri sih..).
Cerita yang disampaikan dengan cukup apik megisahkan tentang beliau sendiri pada saat S1 dengan berbagai perjuangannya. Perjuangan indahnya yang pertama yaitu tentang pembuatan skripsi S1nya. (Oya, kawan.. perlu diketahui dosenku ini berlatar belakang jurusan yang sama denganku. Perlu diketahui kawan, bahwa jurusanku merupakan jurusan yang sangat langka hanya ada satu di Indonesia dan bahkan di dunia jumlahnya belum melebihi jumlah sepasang jari. Oleh karena itu referensi mata kuliah kami sejak dahulu hingga sekarang didominasi dengan sumber asing).
Diceritakan olehnya bahwa pada tahun 80an untuk membuat sebuah skripsi mahasiswa harus memfotocopy referensi dari sebuah tempat khusus di Jakarta, menyusun dan mengusulkannya pada dosen (ini pun banyak yang ditolak mentah2 termasuk pengajuan judul dosenku saat itu). Tapi, bukan karena penelitian yang dilakukan terlalu remeh sehingga judul tersebut ditolah, melainkan karena judul tersebut justru terlalu berat untuk level S1, malahan setara level S3.
Selain itu biaya untuk melakukan penelitianpun sangat mahal bahannya pada saat itu seharga 80juta dan hanya ada di luar negeri, belum dengan biaya analisis dan biaya yang lainnya (bayangkan jumlah itu pada tahun 80an, kalau dibawa ke nilai rupiah sekarang berapa ya?? Mungkin sudah hampir berujung M). Hanya idealitas lah yang akhirnya dapat membuat penelitian tersebut terlaksana dengan memanfaatkan donasi dari berbagai pihak dan akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.
Tidak mudah memang memiliki tekad sekuat itu, jempol banyak deh buat yang bisa melakukan hal semacam itu pada masa ini...(soalnya sekarang jarang banget ada makasiswa senekat itu, aku sendiri pun mungkin akan berfikir ribuan kali dulu sebelum memutuskan untuk menerima konsekuensi seperti itu). Selesai dengan skripsi itu, hal lain yang menarik ketika beliau melanjutkan studi S3 di Jepang (negeri impianku..).
Saat itu beliau mendapatkan beasiswa selama 3 tahun untuk menyelesaikan studinya. Namun, karena rumitnya pengerjaan dan data yang belum muncul memyebabkan hingga akhir tahun ke 3 beliau belum bisa menyelesaikan pendidikan S3nya yang membuatnya frustasi, dan uniknya di saat frustasi itulah ada anugrah yang justru membuatnya semakin frustasi dengan kabar bahwa istri tercintanya hamil anak ke empatnya pada saat beasiswanya habis (anah sih, tapi nyata.. ^_^).
Salut bangeet ketika pada akhirnya beliau tetap memilih melanjutkan studi dengan segala konsekuensinya yaitu harus menjadi loper koran setiap pagi sebelum berangkat ‘kuliah’ untuk membuayai studi dan keluarganya. Dan memang mungkin di sanalah letak keindahan itu ketika sepenuh hati harus berjuang mati-matian demi memperjuangkan idelita bersama keluarganya yang setia mensupportnya (terutama istrinya yang rela menemani dalam setiap suka dukanya).
Terbakar rasanya ketika mendengar cerita dari dosenku pagi ini hingga tak terasa waktu pun memutus cerita yang belum seutuhnya selesai. Rasanya ingin segera aku merasakan masa-masa impianku bisa sekolah di Jepang bersama dengan segala tantangannya. Tekadku kini memuncak kembali, mengobarkan semangat ‘tuk patahkan segala rintangan dengan menyongsong indah harapan di masa depan.
Terima kasih, khusus untuk pak Ngadiman untuk semangat indah di pagi ini.. ^_^
Diceritakan olehnya bahwa pada tahun 80an untuk membuat sebuah skripsi mahasiswa harus memfotocopy referensi dari sebuah tempat khusus di Jakarta, menyusun dan mengusulkannya pada dosen (ini pun banyak yang ditolak mentah2 termasuk pengajuan judul dosenku saat itu). Tapi, bukan karena penelitian yang dilakukan terlalu remeh sehingga judul tersebut ditolah, melainkan karena judul tersebut justru terlalu berat untuk level S1, malahan setara level S3.
Selain itu biaya untuk melakukan penelitianpun sangat mahal bahannya pada saat itu seharga 80juta dan hanya ada di luar negeri, belum dengan biaya analisis dan biaya yang lainnya (bayangkan jumlah itu pada tahun 80an, kalau dibawa ke nilai rupiah sekarang berapa ya?? Mungkin sudah hampir berujung M). Hanya idealitas lah yang akhirnya dapat membuat penelitian tersebut terlaksana dengan memanfaatkan donasi dari berbagai pihak dan akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.
Tidak mudah memang memiliki tekad sekuat itu, jempol banyak deh buat yang bisa melakukan hal semacam itu pada masa ini...(soalnya sekarang jarang banget ada makasiswa senekat itu, aku sendiri pun mungkin akan berfikir ribuan kali dulu sebelum memutuskan untuk menerima konsekuensi seperti itu). Selesai dengan skripsi itu, hal lain yang menarik ketika beliau melanjutkan studi S3 di Jepang (negeri impianku..).
Saat itu beliau mendapatkan beasiswa selama 3 tahun untuk menyelesaikan studinya. Namun, karena rumitnya pengerjaan dan data yang belum muncul memyebabkan hingga akhir tahun ke 3 beliau belum bisa menyelesaikan pendidikan S3nya yang membuatnya frustasi, dan uniknya di saat frustasi itulah ada anugrah yang justru membuatnya semakin frustasi dengan kabar bahwa istri tercintanya hamil anak ke empatnya pada saat beasiswanya habis (anah sih, tapi nyata.. ^_^).
Salut bangeet ketika pada akhirnya beliau tetap memilih melanjutkan studi dengan segala konsekuensinya yaitu harus menjadi loper koran setiap pagi sebelum berangkat ‘kuliah’ untuk membuayai studi dan keluarganya. Dan memang mungkin di sanalah letak keindahan itu ketika sepenuh hati harus berjuang mati-matian demi memperjuangkan idelita bersama keluarganya yang setia mensupportnya (terutama istrinya yang rela menemani dalam setiap suka dukanya).
Terbakar rasanya ketika mendengar cerita dari dosenku pagi ini hingga tak terasa waktu pun memutus cerita yang belum seutuhnya selesai. Rasanya ingin segera aku merasakan masa-masa impianku bisa sekolah di Jepang bersama dengan segala tantangannya. Tekadku kini memuncak kembali, mengobarkan semangat ‘tuk patahkan segala rintangan dengan menyongsong indah harapan di masa depan.
0 komentar:
Post a Comment
silakan memberi komentar: